Selasa, 05 Maret 2013

Perspektif Perkembangan Kognitif, Perkembangan Psikososial dan Emosional AUD


          Dalam sebuah kasus ditemukan bahwa anak yang memiliki kemampuan akademik pada masa TK (Taman Kanak-kanak) mengalami penurunan prestasi pada usia remaja (ketika belajar di SMP) bahkan tidak sedikit yang menolak untuk belajar. Berdasarkan kasus tersebut berikan analisis mengenai kondisi anak-anak tersebut berdasarkan perspektif perkembangan kognitif, perkembangan psikososial dan emosional.
         Kasus ini sering saya dengar dikalangan teman-teman sesama guru TK, dan bahkan salah satu anak didik yang pernah saya ajar juga mengalami kasus ini. Pada saat di TK, anak didik yang pernah saya ajar ini (Raihan) memang sangat unggul dibandingkan teman seusianya. Di TK tersebut saya hanya sebagai guru pendamping dan saya mengikuti perkembangan anak-anak kala itu. Sampai pada suatu ketika, berdasarkan kesepakatan kepala sekolah kami dan orangtuanya sepakat untuk memberikan kesempatan pada anak ini untuk naik level dari TK A langsung ke TK B. Saat itu Raihan yang baru saja dua minggu di TK A langsung kami tempatkan bergabung di kelas B. Catatan lapangan terkait dengan perkembangan Raihan baik secara kognitif dan psikososial emosionalnya memang agak signifikan. Artinya, saya memantau langsung dan  menyimak dengan seksama bagaimana perkembangan Raihan yang bisa dibilang sangat bertolak belakang dengan yang diharapkan orangtuanya dan mungkin guru-guru senior dan kepala sekolah di TK ini.
Yang saya tahu, Raihan memang sangat cerdas untuk anak seusianya. Meski belum genap 5 tahun, tapi Raihan sudah memiliki kosakata yang banyak dalam berbahasa inggris, menghitung sampai ratusan, membaca kata per kata dan bahkan kalimat sederhana serta mampu berkomunikasi dengan sangat baik ketika bertanya atau pun menjawab pertanyaan gurunya. Tetapi, setelah hari dimana Raihan dipindahkan ke kelas yang lebih tinggi sebelum waktunya, ada beberapa perubahan yang terjadi pada diri Raihan. Mungkin, di kasus lain, efek samping dari percepatan akademis baru akan terjadi setelah beberapa tahun kemudian, tetapi di kasus Raihan ini hanya beberapa minggu saja dan Raihan mulai menunjukkan sikap menutup dirinya.
Perubahan sikap yang ditunjukkan Raihan adalah dia tidak terlalu banyak bicara seperti saat dia bersama dengan teman-teman sekelasnya yang memang sejak KB (Kelompok Bermain) sudah sekelas. Raihan juga lebih banyak menutup diri dan selama sebulan pertama, dia lebih sering menangis karena alasan takut dengan teman sekelas yang baru yang merupakan kakak kelasnya. Raihan juga selalu meminta kepada guru-guru sentranya untuk pindah kelas lagi karena ingin bersama dengan teman-teman lamanya. Dan saat itu, karena orangtua Raihan sangat ingin anaknya tetap akselerasi (percepatan) maka pihak sekolah membuat solusi bahwa Raihan boleh pindah ke kelasnya atau pun tetap di kelas yang baru tetapi materi pembelajaran dan evaluasi untuk Raihan setingkat dengan TK B. Dan alhasil, Raihan kembali ke kelas lamanya dengan materi setingkat lebih unggul dibanding teman-teman yang lain.
Dalam hal ini, saya mencoba mengkajinya dengan Teori Kognitif dari Piaget. Anak bukan merupakan miniatur orang dewasa dan cara berfikir anak–anak tidak sama dengan orang dewasa. Menurut Piaget perkembangan kognitif mempunyai 4 aspek yakni :
1.      Kematangan, merupakan pengembangan dari susunan syaraf. Misalnya kemampuan untuk melihat atau mendengar disebabkan oleh kematangan yang sudah dicapai oleh susunan syaraf yang bersangkutan.
2.      Pengalaman, merupakan hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya dan dunianya.
3.      Transmisi sosial, yaitu pengaruh–pengaruh yang diperoleh dengan hubungannya dengan lingkungan sosial seperti cara pengasuhan dan pendidikan dari orang lain yang diberikan kepada anak.
4.      Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan mengatur dalam diri anak agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.

Berdasarkan pengalaman di atas dan sedikit penjelasan tentang teori kognitif dari Piaget, bahwa ada benang merah dimana sebenarnya anak usia dini seperti Raihan secerdas apapun dirinya tetaplah anak usia dini yang pada faktanya tahapan kemampuan kognitifnya baru sebatas pra operasional konkrit. Artinya, semua yang dipelajarinya harusnya konkrit dan dari segi emosionalnya, anak usia dini adalah dunia bermain bukan belajar serius seperti di sekolah menengah pertama. Anak usia dini di TK harusnya bermain, bersosialisasi dengan teman sebayanya, bukan malah di drill berlebihan dan sengaja dibentuk untuk akselerasi karena gengsi orangtua dan sekolah.
Jika dianalisa lebih dalam, kasus Raihan ini adalah hal yang lumrah terjadi. Artinya, si anak mampu secara kognitif tetapi kebutuhan sosial emosinya tetaplah di porsinya, sesuai usianya. Jadi, kemampuan sosial emosionalnya juga masih ditahapan penjajakan, bermain, dan ingin berkenalan dengan dunia sebayanya, bukan malah dipaksa percepatan kognitif dan sosialnya.
Menurut saya, seharusnya guru-guru, kepala sekolah, dan orangtua murid haruslah sadar bahwa anak usia dini hanyalah seorang anak kecil yang didalam konsep berpikirnya adalah bermain bukan belajar serius. Dan biarkanlah mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan tumbuhkembangnya. Biarkanlah usia kalender (calender ages) berjalan natural bersesuaian dengan usia mentalnya (mental ages). Jangan dipaksakan berlebihan sebelum waktunya. Tugas seorang guru dan orangtua dirumah hanya memberikan stimulasi untuk mengoptimalkan potensi yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar