Dalam sebuah kasus
ditemukan bahwa anak yang memiliki kemampuan akademik pada masa TK (Taman
Kanak-kanak) mengalami penurunan prestasi pada usia remaja (ketika belajar di
SMP) bahkan tidak sedikit yang menolak untuk belajar. Berdasarkan kasus
tersebut berikan analisis mengenai kondisi anak-anak tersebut berdasarkan
perspektif perkembangan kognitif, perkembangan psikososial dan emosional.
Kasus ini sering saya dengar dikalangan
teman-teman sesama guru TK, dan bahkan salah satu anak didik yang pernah saya
ajar juga mengalami kasus ini. Pada saat di TK, anak didik yang pernah saya ajar
ini (Raihan) memang sangat unggul dibandingkan teman seusianya. Di TK tersebut
saya hanya sebagai guru pendamping dan saya mengikuti perkembangan anak-anak
kala itu. Sampai pada suatu ketika, berdasarkan kesepakatan kepala sekolah kami
dan orangtuanya sepakat untuk memberikan kesempatan pada anak ini untuk naik
level dari TK A langsung ke TK B. Saat itu Raihan yang baru saja dua minggu di
TK A langsung kami tempatkan bergabung di kelas B. Catatan lapangan terkait
dengan perkembangan Raihan baik secara kognitif dan psikososial emosionalnya
memang agak signifikan. Artinya, saya memantau langsung dan menyimak dengan seksama bagaimana
perkembangan Raihan yang bisa dibilang sangat bertolak belakang dengan yang
diharapkan orangtuanya dan mungkin guru-guru senior dan kepala sekolah di TK
ini.
Yang saya tahu, Raihan memang sangat cerdas untuk
anak seusianya. Meski belum genap 5 tahun, tapi Raihan sudah memiliki kosakata
yang banyak dalam berbahasa inggris, menghitung sampai ratusan, membaca kata
per kata dan bahkan kalimat sederhana serta mampu berkomunikasi dengan sangat
baik ketika bertanya atau pun menjawab pertanyaan gurunya. Tetapi, setelah hari
dimana Raihan dipindahkan ke kelas yang lebih tinggi sebelum waktunya, ada
beberapa perubahan yang terjadi pada diri Raihan. Mungkin, di kasus lain, efek
samping dari percepatan akademis baru akan terjadi setelah beberapa tahun
kemudian, tetapi di kasus Raihan ini hanya beberapa minggu saja dan Raihan
mulai menunjukkan sikap menutup dirinya.
Perubahan sikap yang ditunjukkan Raihan adalah dia
tidak terlalu banyak bicara seperti saat dia bersama dengan teman-teman
sekelasnya yang memang sejak KB (Kelompok Bermain) sudah sekelas. Raihan juga
lebih banyak menutup diri dan selama sebulan pertama, dia lebih sering menangis
karena alasan takut dengan teman sekelas yang baru yang merupakan kakak
kelasnya. Raihan juga selalu meminta kepada guru-guru sentranya untuk pindah
kelas lagi karena ingin bersama dengan teman-teman lamanya. Dan saat itu,
karena orangtua Raihan sangat ingin anaknya tetap akselerasi (percepatan) maka
pihak sekolah membuat solusi bahwa Raihan boleh pindah ke kelasnya atau pun
tetap di kelas yang baru tetapi materi pembelajaran dan evaluasi untuk Raihan
setingkat dengan TK B. Dan alhasil, Raihan kembali ke kelas lamanya dengan
materi setingkat lebih unggul dibanding teman-teman yang lain.
Dalam hal ini, saya mencoba mengkajinya dengan
Teori Kognitif dari Piaget. Anak
bukan merupakan miniatur orang dewasa dan cara berfikir anak–anak tidak sama
dengan orang dewasa. Menurut Piaget
perkembangan kognitif mempunyai 4 aspek yakni :
1.
Kematangan,
merupakan pengembangan dari susunan syaraf. Misalnya kemampuan untuk melihat
atau mendengar disebabkan oleh kematangan yang sudah dicapai oleh susunan
syaraf yang bersangkutan.
2.
Pengalaman,
merupakan hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya dan
dunianya.
3.
Transmisi
sosial, yaitu pengaruh–pengaruh yang diperoleh dengan hubungannya dengan
lingkungan sosial seperti cara pengasuhan dan pendidikan dari orang lain yang
diberikan kepada anak.
4.
Ekuilibrasi,
yaitu adanya kemampuan mengatur dalam diri anak agar dia selalu mampu mempertahankan
keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Berdasarkan pengalaman di atas dan sedikit
penjelasan tentang teori kognitif dari Piaget, bahwa ada benang merah dimana
sebenarnya anak usia dini seperti Raihan secerdas apapun dirinya tetaplah anak
usia dini yang pada faktanya tahapan kemampuan kognitifnya baru sebatas pra
operasional konkrit. Artinya, semua yang dipelajarinya harusnya konkrit dan
dari segi emosionalnya, anak usia dini adalah dunia bermain bukan belajar
serius seperti di sekolah menengah pertama. Anak usia dini di TK harusnya
bermain, bersosialisasi dengan teman sebayanya, bukan malah di drill berlebihan
dan sengaja dibentuk untuk akselerasi karena gengsi orangtua dan sekolah.
Jika dianalisa lebih dalam, kasus Raihan ini adalah
hal yang lumrah terjadi. Artinya, si anak mampu secara kognitif tetapi
kebutuhan sosial emosinya tetaplah di porsinya, sesuai usianya. Jadi, kemampuan
sosial emosionalnya juga masih ditahapan penjajakan, bermain, dan ingin
berkenalan dengan dunia sebayanya, bukan malah dipaksa percepatan kognitif dan
sosialnya.
Menurut saya, seharusnya guru-guru, kepala sekolah,
dan orangtua murid haruslah sadar bahwa anak usia dini hanyalah seorang anak
kecil yang didalam konsep berpikirnya adalah bermain bukan belajar serius. Dan
biarkanlah mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan tumbuhkembangnya.
Biarkanlah usia kalender (calender ages) berjalan natural bersesuaian
dengan usia mentalnya (mental ages). Jangan dipaksakan berlebihan
sebelum waktunya. Tugas seorang guru dan orangtua dirumah hanya memberikan
stimulasi untuk mengoptimalkan potensi yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar