Selasa, 05 Maret 2013

Analisis Teori Jean Piaget dan Lev Vigotsky



Jean Piaget
Perkembangan kognitif pada anak-anak terjadi melalui urutan yang berbeda. Tahapan ini membantu menerangkan cara anak berpikir, menyimpan informasi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Jean Piaget dalam buku perkembangan dan kepribadian anak (Paul henry Mussen dkk. 1984, h. 201) mengemukakan bahwa tahapan perkembangan kognitif anak dibagi menjadi 4 tahapan yaitu:
1)         Tahap Sensori Motor (0-2 Tahun)
Selama tahap sensorimotor, pertumbuhan kognitif didasarkan pada tindakan panca indera dan motorik. Dimulai dengan tindakan yang terutama berbentuk reaksi refleks, bayi itu berkembang melalui enam tahapan di mana tindakan untuk mencapai tujuan meningkat secara menyolok. Dalam tahap terakhir dari periode sensorimotor, anak itu membentuk gambaran mental, dapat meniru tindakan orang lain yang telah lalu, dan merancang arti baru dari pemecahan persoalan dengan menggabungkan skema yang didapat sebelumnya dengan pengetahuan secara mental. Dalam periode singkat dari 18 bulan atau 2 tahun, ”anak itu telah mengubah diirnya dari sebuah organisme yang sama sekali tergantung pada refleks dan sifat bawaan lainnya menjadi orang yang mampu berpikir secara simbolik” (Ginsburg & Opper, 1979, p. 83).
2)         Tahap Pra-Operasional Kongkrit (2-6 Tahun)
Manipulasi simbol, termasuk kata-kata merupakan karakteristik penting dari tahap praoperasional. Hal ini dinyatakan dalam meniru yang tertunda (menghasilkan suatu tindakan yang telah dilihat di masa lalu) dan dalam imajinasi anak-anak atau pura-pura bermain (Piaget, 1951). Seorang anak usia 2 tahun dapat meniru pergerakan barisan atau loncatan yang dilihatnya kemarin. Dalam suatu permainan ia akan menggunakan benda sebagai simbol benda lain: Sebuah kotak dapat digunakan sebagai tempat tidur, meja, kursi, mobil, kapal terbang, atau kereta bayi. Anak-anak ini telah fasih menggunakan tanggapan simbolik. Karena pengetahuan bahasa mereka berkembang pesat selama periode ini, kemampuan untuk menggunakan penggambaran simbolik dalam berpikir, memecahkan masalah dan permainan kreatif yang lebih dipertinggi lagi dalam tahun-tahun berikutnya.
Walaupun demikian cara berpikir anak dalam tahap praoperasional terbatas dalam beberapa hal yang penting. Menurut Piaget karakteristiknya ialah egosentris; anak praoperasional mempunyai kesulitan untuk membayangkan bagaimana benda-benda itu terlihat dari perspektif orang lain. Piaget merancang model dari tiga gunung yang seringkali dipakai untuk mempelajari egosentrisme. Batasan lainnya dalam pikiran anak-anak praoperasional dapat dimengerti paling baik dengan mengamati perubahan yang terjadi bila mereka memasuki tahap operasi konkret.
3)         Tahap Operasional Konkret (7-12 tahun)
Pada tahap ini anak telah mencapai kemampuan untuk melakukan operasi mental yang fleksibel dan dapat diputar balik sepenuhnya. Anak-anak pada tahap ini mengerti peraturan dasar logis tertentu (disebut grouping oleh Piaget) dan karenanya mampu berpikir secara logis dan kuantitatif dengan cara yang tidak kelihatan dalam tahap praoperasional. Anak-anak pada tahap operasi konkret bergerak bebas dari satu pandangan ke yang lain; jadi mereka mampu berperilaku obyektif dalam mengkaji kejadian.
Berikut ini adalah empat tahapan kemampuan yang dimiliki anak pada usia 7-12 tahun (pada tahap operasi konkret):
a)         Desentrasi dan Konservasi.
Kemampuan untuk memusatkan perhatiannya pada beberapa atribut sebuah benda atau kejadian secara bersamaan dan mengerti hubungan antardimensi. Dalam percobaan konservasi jumlah yang khas, satu barisan yang terdiri dari lima kancing berjajar tepat di atas barisan lain yang juga terdiri dari lima kancing, sehingga kedua barisan sama panjangnya. Anak itu setuju bahwa kedua barisan mempunyai jumlah kancing yang sama. Bila salah satu barisan diperpendek dengan merapatkan kancing-kancing itu satu sama lain, anak tahap praoperasional biasanya mengatakan bahwa barisan yang lebih panjang mempunyai lebih banyak kancing. Anak tahap operasional konkret mengetahui bahwa pengaturan kembali dari kancing tidak mengubah jumlahnya.
Menurut Piaget anak-anak tahap operasi konkret mengerti masalah konservasi karena mereka dapat melaksanakan operasi mental yang diputarbalikkan dan mereka juga mengerti dua prinsip logika yang penting. Prinsip pertama, disebut identitas atau prinsip ekuivalen, yang menunjukkan bahwa bila ukuran A sama dengan B (misalnya panjangnya), dan B sama dengan C, maka seharusnya A adalah sama dengan C. Seseorang tidak perlu mengukur A dan C untuk mengetahui kebenarannya. Prinsip kedua, ialah bahwa benda dan kejadian mempunyai lebih dari satu dimensi, misalnya berat dan ukuran, dan dimensi ini mungkin terdiri dari hubungan yang berbeda-beda. Anak mengetahui bahwa sebuah batu kerikil itu kecil dan ringan, sebuah bola boling: kecil dan berat, sebuah balon besar walaupun ringan, mobil besar dan berat.

b)        Seriasi
Karakteristik lain dari tahap operasional konkret ialah kemampuan untuk mengatur benda sesuai dengan beberapa dimensi kuantitatif seperti berat atau ukuran. Kemampuan ini disebut seriasi. Seorang anak usia 8 tahun dapat mengatur delapan tongkat dengan panjang yang berbeda dengan urutan terpendek sampai terpanjang. Seriasi menggambarkan kemampuan anak akan logis lain yang penting disebut transitivitas, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan tetap yang tertentu di antara kualitas dari benda. Misalnya A lebih panjang dari B dan B lebih panjang dari C, maka A harus lebih panjang dari C. Anak-anak dalam tahap operasi konkret mengetahui berlakunya peraturan itu bahkan juga bila mereka tidak pernah melihat benda A, B dan C. Kemampuan yang oleh Piaget disebut seriasi penting untuk mengerti hubungan satu nomor dengan yang lain dan karenanya untuk mempelajari ilmu hitung.
c)         Pemikiran Relasional
Anak tahap operasional konkret menghargai istilah seperti lebih tinggi, lebih pendek, dan lebih gelap daripada besar absolut. Anak yang lebih kecil berpikir dalam istilah absolut dan menginterpretasikan lebih gelap dengan arti ”sangat gelap” daripada ”lebih gelap dari benda lain”. Bila pada mereka diperlihatkan dua benda warna cerah, salah satu di antaranya sedikit lebih gelap, dan mereka diminta untuk mengambil benda yang lebih gelap, maka mereka mungkin tidak menjawab atau mereka akan berkata bahwa tidak ada yang lebih gelap. Berpikir relasional merupakan gambaran lain dari kemampuan untuk menimbang lebih dari satu kejadian secara bersamaan karena ia membutuhkan perbandingan dari dua benda atau lebih.
d)        Inklusi Kelas
Anak tahap operasional konkret dapat berpikir secara bersamaan tentang bagian dan keseluruhan. Bila pada seorang anak usia 8 tahun diperlihatkan delapan permen kuning dan empat permen coklat dan ditanya, ”Apakah terdapat lebih banyak permen kuning atau coklat?” anak itu menjawab, ”terdapat lebih banyak permen”. Demikian juga seorang anak yang berusia 5 tahun yang diberi persoalan yang sama biasanya akan berkata, ”lebih banyak permen kuning”. Jawaban ini menurut Piaget mencerminkan ketidakmampuan anak kecil untuk memikirkan tentang sebagian dan keseluruhan secara bersama-sama.
Pengertian anak tentang pemasukan kelas menggambarkan prinsip logis bahwa terdapat hubungan hirarki antar golongan. Anak operasional konkret menghargai bahwa beberapa himpunan golongan saling sesuai dengan yang lain. Misalnya, semua jeruk termasuk golongan buah-buahan, semua buah-buahan tergolong dalam makanan, dan semua makanan termasuk dalam golongan yang lebih besar barang-barang yang dapat dimakan. Pertama, anak dapat mengerjakan sebuah operasi dan secara mental memisahkan setiap golongan benda dan menggabungkannya kembali. Golongan makanan terdiri dari semua barang yang dapat dimakan, termasuk buah yang dapat dimakan dan semua makanan lain yang bukan merupakan buah-buahan. Kedua, anak operasi konkret menyadari bahwa sifat khusus dari benda dapat termasuk lebih dari satu golongan atau lebih dari satu hubungan pada satu saat, sebuh prinsip yang disebut penggandaan kelas atau relasi. Anak-anak menghargai bahwa pisang dapat termasuk bersama-sama dalam golongan makanan alamiah dan golongan makanan manis, sedang roti termasuk golongan makanan buatan dan golongan tepung.
Walaupun anak-anak operasional lebih maju dari tahap praoperasional dalam berpikir, pemecahan masalah dan logika, pemikiran mereka tetap terbatas pada di sini dan sekarang (here and now) dari operasional konkret. Pada tingkat ini anak-anak menjaga kuantitas dan jumlah, dapat menyusun dan menggolongkan benda nyata dan benda lain. Namun mereka tidak dapat berpikir tentang hal abstrak, hipotetik atau kejadian semu. Selanjutnya, walaupun mereka dapat menyusun serangkaian kotak menurut ukuran, mereka mendapat kesulitan dalam memecahkan masalah lisan yang abstrak seperti, ”Ani lebih tinggi dari Lidwin. Lili lebih pendek dari Lidwin. Siapa yang paling tinggi?”.
4)         Tahap Operasional Formal (12 tahun ke atas)
Dalam tingkatan paling lanjut dari perkembangan kognitif mulai sekitar usia 12 tahun dan berlangsung sampai dewasa, pembatasan tahap operasi konkret dapat dilampaui. Manusia menggunakan berbagai variasi operasi kognitif dan strategi dalam memecahkan masalah. Mereka sangat cakap dan fleksibel dalam pemikiran dan pencarian alasan serta dapat melihat benda dari sejumlah perspektif atau sudut pandangan lain (Ginsburg & Opper, 1979). Pemikiran orang dewasa lebih kompleks daripada remaja, dan bidang kemampuan kecerdasan serta keaktifannya lebih besar.
Salah satu ciri yang terlihat jelas dalam tahap ini ialah perkembangan dari kemampuan untuk berpikir tentang masalah-masalah hipotesis maupun yang nyata, dan berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan seperti juga yang aktual. Anak yang ada dalam tahap operasi konkret secara mental memanipulasi benda dan kejadian; dalam tahap operasi formal, anak itu dapat memanipulasi gagasan tentang situasi hipotesis.
Lev Vygotsky
Dalam konsep yang berbeda, Vygotsky menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan seperangkat fungsi kognitif dasar yakni kemampuan memperhatikan, mengamati, dan mengingat (Dworestky, 1990). Kebudayaan akan mentransformasikan kemampuan tersebut dalam bentuk fungsi kognitif yang lebih tinggi, terutama dengan cara mengadakan hubungan bermasyarakat dan melalui proses pembelajaran serta penggunan bahasa. Dalam buku teori perkembangan ( 2007, h. 347), berdasarkan sebuah eksperimen, Vygotsky mengemukakan bahwa anak-anak yang paling muda, antara usia 4 sampai 8 tahun, bertindak seolah-olah mereka bisa mengingat suatu hal. Entah tugas ini sederhana atau sulit, mereka segera melakukannya setelah mendengar instruksi-instruksi tersebut. Ketika para peneliti menawarkan mereka gambar dan kartu untuk membantu mengingat, biasanya mereka mengabaikan bantuan-bantuan itu, atau menggunakannya secara tidak tepat. Anak kecil, simpul Vygotsky, ”tidak tahu kapasitas dan keterbatasan mereka” atau bagaimana menggunakan stimuli eksternal untuk membantu mereka mengingat sesuatu (1913b, h.71). Anak-anak yang lebih tua, biasanya 9 sampai 12 tahun, menggunakan gambar-gambar yang ditawarkan Vygotsky, dan bantuan-bantuan ini sungguh menyempurnakan performa mereka. Yang menarik adalah tambahan bagi bantuan-bantuan semacam itu tidak selalu memperbaiki ingatan orang dewasa. Namun hal ini bukan berarti karena mereka telah kembali lagi menjadi seperti anak kecil dan tidak lagi menggunakan alat-alat memori. Lebih tepatnya, ini karena mereka sekarang melatih diri memahami instruksi-instruksi dan membuat beberapa catatan mental bagi diri sendiri, tanpa memerlukan lagi petunjuk-petunjuk eksternal (Vygotsky, 1930, h. 41-45).

Perspektif Perkembangan Kognitif, Perkembangan Psikososial dan Emosional AUD


          Dalam sebuah kasus ditemukan bahwa anak yang memiliki kemampuan akademik pada masa TK (Taman Kanak-kanak) mengalami penurunan prestasi pada usia remaja (ketika belajar di SMP) bahkan tidak sedikit yang menolak untuk belajar. Berdasarkan kasus tersebut berikan analisis mengenai kondisi anak-anak tersebut berdasarkan perspektif perkembangan kognitif, perkembangan psikososial dan emosional.
         Kasus ini sering saya dengar dikalangan teman-teman sesama guru TK, dan bahkan salah satu anak didik yang pernah saya ajar juga mengalami kasus ini. Pada saat di TK, anak didik yang pernah saya ajar ini (Raihan) memang sangat unggul dibandingkan teman seusianya. Di TK tersebut saya hanya sebagai guru pendamping dan saya mengikuti perkembangan anak-anak kala itu. Sampai pada suatu ketika, berdasarkan kesepakatan kepala sekolah kami dan orangtuanya sepakat untuk memberikan kesempatan pada anak ini untuk naik level dari TK A langsung ke TK B. Saat itu Raihan yang baru saja dua minggu di TK A langsung kami tempatkan bergabung di kelas B. Catatan lapangan terkait dengan perkembangan Raihan baik secara kognitif dan psikososial emosionalnya memang agak signifikan. Artinya, saya memantau langsung dan  menyimak dengan seksama bagaimana perkembangan Raihan yang bisa dibilang sangat bertolak belakang dengan yang diharapkan orangtuanya dan mungkin guru-guru senior dan kepala sekolah di TK ini.
Yang saya tahu, Raihan memang sangat cerdas untuk anak seusianya. Meski belum genap 5 tahun, tapi Raihan sudah memiliki kosakata yang banyak dalam berbahasa inggris, menghitung sampai ratusan, membaca kata per kata dan bahkan kalimat sederhana serta mampu berkomunikasi dengan sangat baik ketika bertanya atau pun menjawab pertanyaan gurunya. Tetapi, setelah hari dimana Raihan dipindahkan ke kelas yang lebih tinggi sebelum waktunya, ada beberapa perubahan yang terjadi pada diri Raihan. Mungkin, di kasus lain, efek samping dari percepatan akademis baru akan terjadi setelah beberapa tahun kemudian, tetapi di kasus Raihan ini hanya beberapa minggu saja dan Raihan mulai menunjukkan sikap menutup dirinya.
Perubahan sikap yang ditunjukkan Raihan adalah dia tidak terlalu banyak bicara seperti saat dia bersama dengan teman-teman sekelasnya yang memang sejak KB (Kelompok Bermain) sudah sekelas. Raihan juga lebih banyak menutup diri dan selama sebulan pertama, dia lebih sering menangis karena alasan takut dengan teman sekelas yang baru yang merupakan kakak kelasnya. Raihan juga selalu meminta kepada guru-guru sentranya untuk pindah kelas lagi karena ingin bersama dengan teman-teman lamanya. Dan saat itu, karena orangtua Raihan sangat ingin anaknya tetap akselerasi (percepatan) maka pihak sekolah membuat solusi bahwa Raihan boleh pindah ke kelasnya atau pun tetap di kelas yang baru tetapi materi pembelajaran dan evaluasi untuk Raihan setingkat dengan TK B. Dan alhasil, Raihan kembali ke kelas lamanya dengan materi setingkat lebih unggul dibanding teman-teman yang lain.
Dalam hal ini, saya mencoba mengkajinya dengan Teori Kognitif dari Piaget. Anak bukan merupakan miniatur orang dewasa dan cara berfikir anak–anak tidak sama dengan orang dewasa. Menurut Piaget perkembangan kognitif mempunyai 4 aspek yakni :
1.      Kematangan, merupakan pengembangan dari susunan syaraf. Misalnya kemampuan untuk melihat atau mendengar disebabkan oleh kematangan yang sudah dicapai oleh susunan syaraf yang bersangkutan.
2.      Pengalaman, merupakan hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya dan dunianya.
3.      Transmisi sosial, yaitu pengaruh–pengaruh yang diperoleh dengan hubungannya dengan lingkungan sosial seperti cara pengasuhan dan pendidikan dari orang lain yang diberikan kepada anak.
4.      Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan mengatur dalam diri anak agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.

Berdasarkan pengalaman di atas dan sedikit penjelasan tentang teori kognitif dari Piaget, bahwa ada benang merah dimana sebenarnya anak usia dini seperti Raihan secerdas apapun dirinya tetaplah anak usia dini yang pada faktanya tahapan kemampuan kognitifnya baru sebatas pra operasional konkrit. Artinya, semua yang dipelajarinya harusnya konkrit dan dari segi emosionalnya, anak usia dini adalah dunia bermain bukan belajar serius seperti di sekolah menengah pertama. Anak usia dini di TK harusnya bermain, bersosialisasi dengan teman sebayanya, bukan malah di drill berlebihan dan sengaja dibentuk untuk akselerasi karena gengsi orangtua dan sekolah.
Jika dianalisa lebih dalam, kasus Raihan ini adalah hal yang lumrah terjadi. Artinya, si anak mampu secara kognitif tetapi kebutuhan sosial emosinya tetaplah di porsinya, sesuai usianya. Jadi, kemampuan sosial emosionalnya juga masih ditahapan penjajakan, bermain, dan ingin berkenalan dengan dunia sebayanya, bukan malah dipaksa percepatan kognitif dan sosialnya.
Menurut saya, seharusnya guru-guru, kepala sekolah, dan orangtua murid haruslah sadar bahwa anak usia dini hanyalah seorang anak kecil yang didalam konsep berpikirnya adalah bermain bukan belajar serius. Dan biarkanlah mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan tumbuhkembangnya. Biarkanlah usia kalender (calender ages) berjalan natural bersesuaian dengan usia mentalnya (mental ages). Jangan dipaksakan berlebihan sebelum waktunya. Tugas seorang guru dan orangtua dirumah hanya memberikan stimulasi untuk mengoptimalkan potensi yang ada.

Urgensi Meningkatkan Kemampuan Sosial Emosional Anak Usia Dini

  Manusia terlahir dengan segudang potensi baik, yang melekat di dalam dirinya. Pada awal manusia dilahirkan sebagai bayi mungil yang lemah tak berdaya, maka pada hakikatnya potensi tersebut tersembunyi. Namun, seiring waktu berjalan, bertambahnya pertumbuhan secara fisik selaras dengan berkembangnya potensi-potensi yang pada awalnya tersembunyi (hidden potencial). Potensi tersembunyi ini perlu dimunculkan dan dikembangkan menjadi potensi yang luar biasa sehingga anak menjadi pribadi cerdas dan berkarakter positif.
         Potensi yang dimaksudkan adalah potensi dari segi perkembangan fisik-motorik, bahasa, kognitif, agama-moral, seni, dan sosial emosi. Kesemua potensi tersebut bila dikembangkan secara tepat dan dengan pola pembelajaran yang tepat akan menghasilkan anak-anak yang berkarakter. Anak cerdas berkarakter bukan hanya unggul dari segi potensi perkembangan kognitifnya, tetapi juga unggul dari segi afektif (atttitude) dan segi keterampilannya. Namun, fakta di lingkungan sosial yang dapat kita perhatikan saat ini, orang yang berkeahlian tinggi dan sangat cerdas akan tereliminasi oleh lingkungan sosialnya jika orang tersebut tidak mampu menunjukkan perilaku sosial positif.
         Perilaku sosial positif seorang individu dewasa merupakan cerminan perilaku sosialnya di waktu kanak-kanak. Sejalan dengan pernyataan Elizabeth Hurlock, landasan yang diletakkan pada masa kanak-kanak awal akan menentukan cara anak menyesuaikan diri dengan orang dan situasi sosial jika lingkungan mereka semakin luas dan jika mereka tidak mempunyai perlindungan dan bimbingan dari orangtua pada masa bayi.[1] Perilaku sosial positif nampak berdasarkan perkembangan sosial emosi anak yang sejak dini diarahkan secara positif melalui pendidikan dan pembelajaran yang tepat sasaran.
         Meskipun di beberapa referensi menyatakan bahwa perkembangan sosial dan emosi dijabarkan secara terpisah, namun dalam anak usia dini, proses menumbuhkembangkan potensi dari perkembangan sosial emosi merupakan komponen yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan. Pengelolaan emosi merupakan bagian terpenting dalam kejiwaan setiap individu manusia. Pengelolaan emosi haruslah mulai dikembangkan pada anak usia dini sebagai pondasi awal dalam kecerdasan emosional. Pada usia dini, yang biasa disebut usia keemasan (Golden Ages), anak akan mengalami masa imitasi yaitu meniru segala hal yang dilihat, baik atau pun buruk. Anak akan menjadi pribadi dewasa yang cerdas secara emosionalnya apabila di usia dini dia diberikan pola pengembangan yang dapat mengembangkan potensi kecerdasan emosionalnya.
         Dalam hal pengembangan perilaku sosial dan pengelolaan emosional, keluarga memanglah yang paling bertanggung jawab karena keluarga menjadi lembaga pendidikan pertama dan utama yang memberikan nilai-nilai atau norma-norma pada anak. Namun, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal seperti Taman Penitipan Anak (TPA) juga memiliki peranan penting dan juga bertanggung jawab atas anak. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[2]
         Perlu ditekankan pada pernyataan bahwa pendidikan yang diberikan oleh pendidik haruslah dapat membentuk watak yang bermartabat pada anak serta mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang berakhlak mulia. Dari pernyataan tersebut, sangatlah nyata bahwa harapan dengan memberikan pendidikan berupa contoh teladan yang baik dalam perilaku sosial dan emosional maka anak pun akan menjadi makhluk individu yang baik pula. Teladan perilaku positif yang diberikan oleh orang dewasa seperti orangtua dalam keluarga dan guru di sekolah dapat membantu mengembangkan potensi kemampuan sosial emosi anak. Pernyataan ini diyakini peneliti karena perkembangan yang penting dan muncul pada usia dini adalah perkembangan sosial dan emosional.
         Seperti halnya perkembangan kecerdasan spiritual yang ternyata telah ada sejak manusia belum menjadi janin, begitu juga perkembangan emosional. Bedanya adalah perkembangan emosional mulai berlangsung sejak anak sudah berupa janin dalam kandungan (ruh sudah dihembuskan kedalam dirinya oleh Allah SWT) dan tampak nyata ketika anak terlahirkan ke dunia. Perkembangan emosional berjalan berdampingan dengan perkembangan sosial anak yang dalam pengembangan keduanya diperlukan contoh teladan yang baik. Namun, kenyataannya orang dewasa sering kali memberikan contoh perilaku negatif pada anak usia dini yang dalam tahap perkembangannya adalah mengimitasi (mencontoh orang dewasa). Orang dewasa seperti orangtua yang cenderung memberi contoh negatif.
         Dari segi pengembangan emosional, ketika seorang anak yang diacuhkan dari kelompoknya dan tidak diajak bermain bersama, maka reaksi yang terjadi pada anak adalah menangis dan menarik diri dari kelompok bermainnya. Maka disinilah peran emosional pada anak dalam mengatasi konflik sosial tersebut. Ini menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosional adalah salah satu aspek perkembangan yang tidak dapat terpisahkan.
         Kedua aspek perkembangan tersebut akan menjadi dasar bagi berkembangnya aspek-aspek perkembangan yang lainnya. Di dalam perkembangan bahasa, emosi merupakan suatu bentuk komunikasi. Emosi pada anak dikatakan sebagai wujud komunikasi mengungkapkan perasaan terhadap orang lain, seperti rasa takut, marah, sedih dan senang.[3] Emosi dapat diatasi dengan baik apabila seorang individu memiliki kemampuan spiritual yang baik. Individu yang cerdas emosi akan diterima oleh lingkungan, dengan kata lain sosiabilitasnya baik.
         Dalam keluarga, pola asuh orangtua yang otoriter dari segi sosial emosi, kebanyakan anak dengan pola asuh otoriter, tidak diijinkan untuk bermain dengan teman–teman sebayanya karena mereka takut terjatuh, takut kotor dan berkelahi, bahkan bila anak mereka sampai menangis maka orangtualah yang harus membela anaknya. Padahal akan lebih baik bila memberikan kesempatan pada anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
         Di sekolah, guru sebagai pendidik secara formal berkewajiban untuk membimbing dan mendidik perilaku negatif pada anak karena terbawa oleh lingkungan utamanya; keluarga di rumah. Namun, pada kenyataannya lembaga nonformal anak usia dini TPA, pengembangan perkembangan sosial emosional juga kurang mendapatkan porsi yang sesuai dalam KBM. Para praktisi pendidikan lebih banyak mengutamakan perkembangan bahasa dan kognitif, sehingga porsi untuk pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung lebih diutamakan sedangkan pembelajaran sosial emosional hanya sebagai sisipan saja. Di dalam program kegiatan belajar mengajar perkembangan sosial emosional sudah memiliki program khusus, tetapi untuk pelaksanaannya kurang mendapatkan porsi yang sesuai. Padahal perkembangan sosial emosional adalah menjadi dasar untuk dimensi–dimensi perkembangan lainnya.
         Dalam lingkungan masyarakat, persepsi tentang pentingnya perkembangan sosial emosional pada anak yang dianggap masih terlalu dini bagi kebanyakan masyarakat. Ini tampak ketika seorang anak tidak diajak bermain oleh teman dan terjadi perselisihan, maka reaksi yang sering muncul adalah anak menangis dan menarik diri dari teman-temannya, atau ada sebagian anak yang terlihat memukul temannya. Biasanya, ketika perselisihan itu terjadi, orang dewasa yang melihatnya akan memihak pada salah satu dari mereka atau mengatasi perselisihan anak dengan menjauhkan keduanya. Seharusnya pada saat anak mengalami konflik sosial, para orang dewasa dapat memberikan kesempatan pada anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Orang dewasa seharusnya bisa berperan sebagai wasit atau hakim yang adil dan tidak memihak, maka kita akan melihat sejauh mana kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungannya serta mengajarkan anak untuk dapat mengelola emosinya agar tercipta sosiabilitas yang baik. Ini adalah contoh ilustrasi yang kebanyakan terjadi pada masyarakat dalam menyikapi perkembangan sosial emosional anak usia dini.
         Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya sebuah usaha yang terprogram dan terencana dalam meningkatkan kemampuan sosial emosi anak di usia 2-4 tahun. Peningkatan kemampuan sosial emosi ini dapat dilakukan dengan menggunakan strategi pembelajaran kontekstual, sebuah strategi pembelajaran yang menekankan kepada keterlibatan anak secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata mereka sehingga mendorong anak untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.[4] Melalui strategi pembelajaran kontekstual maka diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan yang kerap dihadapi di masyarakat maupun di lembaga Taman Penitipan Anak atau satuan PAUD lainnya terkait dengan kegiatan pembelajaran atau stimulasi untuk meningkatkan kemampuan sosial emosi anak usia dini.
Referensi :

[1] Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak Edisi Keenam (Jakarta: Erlangga) h.263.
[2] UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
[3] Paul Ekman dalam Daniel Goleman, Emotional Intelligence (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), p. 412
[4] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran – Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h.253.

Bahasa Sebagai Sistem Kognitif

Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini, mencakup semua cara untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini, mencakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.
Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Allah SWT, yang dengannya manusia, alam, dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan berbahasanya.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berfikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.
Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah: pemahaman, pengembangan perbendaharaan kata, penyusunan kata-kata menjadi kalimat, dan ucapan.
Ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut: egocentric speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri (monolog); dan socialized speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information, disini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain, (c) commad (perintah), request (permintaan) dan threat (ancaman), (d) questions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berfikir anak yang pada umumnya dilakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “socialized speech” mengembangkan kemampuan penyelesaian social (social adjustment).
Pembelajaran bahasa untuk anak usia dini diarahkan pada kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis (simbolis). Untuk memahami bahasa simbolis anak perlu belajar membaca dan menulis. Oleh karena itu, belajar bahasa sering dibedakan menjadi dua, yaitu belajar bahasa untuk komunikasi dan belajar literasi, yaitu belajar membaca dan menulis.
Menurut Vygotsky pada mulanya bahasa dan pikiran anak berbeda. Kemudian secara perlahan, sesuai tahap perkembangan mentalnya, bahasa dan pikiran menyatu sehingga bahasa merupakan ungkapan dari pikiran. Anak secara alami belajar bahasa dari interaksinya dengan orang lain untuk berkomunikasi, yaitu menyatakan pikiran dan keinginannya memahami pikiran dan keinginan orang lain.[1]
Dalam interaksi guru dan murid diperlukan bahasa. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan antara guru dan siswa. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi membicarakan banyak hal , mendengar, membaca dan menulis. Bahasa juga diperlukan untuk mendeskripsikan sesuatu dan merencanakan  sesuatu. Menurut Vygotski, bahasa memainkan peranan utama dalam perkembangan kognitif anak (Santrock, 2010:67).[2]
Dalam berkomunikasi, bahasa merupakan alat yang penting bagi setiap orang. Melalui berbahasa seseorang atau anak akan dapat mengembangkan kemampuan bergaul (social skill) dengan orang lain.[3] Penguasaan keterampilan bergaul dalam lingkungan sosial dimulai dengan penguasaan kemampuan berbahasa. Tanpa bahasa seseorang tidak akan dapat berkomunikasi dengan orang lain. Anak dapat mengekspresikan pikirannya menggunakan bahasa sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan oleh anak. Komunikasi antar anak dapat terjalin dengan baik dengan bahasa sehingga anak dapat membangun hubungan sehingga tidak mengherankan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu indikator kesuksesan seorang anak. Anak yang dianggap banyak berbicara, kadang merupakan cerminan anak yang cerdas.
Bahasa dapat dimaknai sebagai suatu sistem tanda, baik lisan maupun tulisan dan merupakan sistem komunikasi antar manusia. Bahasa mencakup komunikasi non verbal dan komunikasi verbal serta dapat dipelajari secara teratur tergantung pada kematangan serta kesempatan belajar yang dimiliki seseorang, demikian juga bahasa merupakan landasan seorang anak untuk mempelajari hal-hal lain. Sebelum dia belajar pengetahuan-pengetahuan lain, dia perlu menggunakan bahasa agar dapat memahami dengan baik. Anak akan dapat mengembangkan kemampuannya dalam bidang pengucapan bunyi, menulis, membaca yang sangat mendukung kemampuan keaksaraan di tingkat yang lebih tinggi.[4]
Perolehan bahasa pada anak-anak tidak serta-merta dapat langsung sempurna namun melalui proses perkembangannya yang bersegmentasi dari tahap perkembangan. Untuk memperoleh bahasa yang baik dalam kalimat yang terstruktur juga berproses dari pengenalan huruf, bunyi dari penggabungan antara huruf sampai pada tingkatan mengerti akan makna dari kata maupun kalimat yang bersusun (Yusuf, Syamsu,  2000:118)

[1]Muhammad Yusuf, Pembelajaran Bahasa Pada Anak Usia Dini (Jakarta:Pustaka Utama, 2011), h. 18.
[2] Tarigan
[3] Yusuf, Op.Cit., h. 20.
[4] Ibid, h. 30.hh